POSTWARTA.COM – Pembahasan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) dinilai telah mencapai tahap paling mendesak untuk segera disahkan. Peningkatan eskalasi ancaman siber dan kerugian ekonomi yang masif di Indonesia menjadi alasan utama pentingnya payung hukum nasional yang komprehensif.
Penegasan ini disampaikan oleh Hikam Hulwanullah, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Konstitusi, Perundang-undangan dan HAM Universitas Negeri Surabaya, dalam Dialog Literasi Keamanan Siber Jawa Timur 2025 yang digelar di Yogyakarta pada Rabu, 10 Desember 2025.
Transisi dari Potensi Menjadi Realitas Ancaman
Hikam menjelaskan bahwa RUU KKS bukanlah wacana baru, melainkan telah masuk perencanaan legislasi sejak 2014. Namun, perjalanannya panjang karena adanya perdebatan krusial mengenai batas antara keamanan negara dan perlindungan hak pribadi warga.
“RUU ini mengandung isu sangat sensitif, sehingga memang harus dirumuskan dengan ekstra hati-hati,” ujar Hikam.
Isu sensitif terbesar adalah kekhawatiran publik terkait potensi akses negara terhadap data digital masyarakat. Meskipun kekhawatiran ini dapat dipahami, Hikam menegaskan bahwa RUU KKS justru dirancang untuk menyeimbangkan kepentingan keamanan nasional dan perlindungan hak warga negara.
Urgensi pengesahan RUU ini makin tak terhindarkan seiring lonjakan drastis serangan siber. Hikam menyatakan bahwa jika pada 2014 ancaman digital masih berada pada level vacuum of reality, kini serangan siber telah menjadi realitas harian yang terus berlangsung.
“Kita tidak lagi berbicara potensi, tetapi realitas ancaman yang terus berlangsung setiap hari,” tegasnya.
Kerugian Ekonomi dan Kekosongan Norma Hukum
Data menunjukkan lonjakan serangan siber yang mengkhawatirkan:
Pada tahun 2016 tercatat 135 juta serangan.
Angka tersebut meningkat menjadi lebih dari 205 juta pada tahun 2017.
Serangan siber besar seperti WannaCry yang sempat melumpuhkan layanan di RS Dharmais dan RS Harapan Kita, hingga kasus penyadapan intelijen Australia terhadap pejabat Indonesia, menjadi bukti nyata lemahnya pertahanan informasi nasional.
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan juga sangat besar. Riset Daka Advisory mencatat potensi kerugian mencapai USD 43 miliar hingga USD 582 miliar. Pada tahun 2018, nilai ancaman ekonomi ditaksir mencapai USD 34,2 miliar (sekitar Rp 483 triliun).
Indonesia saat ini menghadapi kondisi vacuum of norm atau kekosongan norma hukum. Meskipun telah memiliki UU ITE dan UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), keduanya belum mampu menjadi kerangka hukum komprehensif untuk tata kelola keamanan siber nasional. Regulasi yang ada masih bersifat sektoral, menyebabkan koordinasi antarlembaga sering tersendat.
Arah Kebijakan dan Kontrol Demokratis
RUU KKS diharapkan menjadi payung hukum nasional yang mengatur integritas, ketersediaan, hingga kerahasiaan informasi negara. RUU ini meliputi:
Penguatan keamanan nasional berbasis siber.
Perlindungan Infrastruktur Informasi Vital (IIV).
Kewajiban audit keamanan dan pelaporan insiden siber.
Pembentukan lembaga koordinatif keamanan siber.
Salah satu terobosan penting dalam RUU ini adalah pemisahan tegas antara ruang lingkup pertahanan siber dan keamanan siber. Arah kebijakannya menekankan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, serta mengadopsi standar global seperti NIST, ITU GCI, dan GDPR, dengan pendekatan yang menitikberatkan pada pencegahan.
Meskipun demikian, Hikam menekankan pentingnya batas tegas agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan.
“Jika dalam implementasi terjadi pelanggaran atau kejanggalan, publik masih memiliki ruang untuk melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk kontrol demokratis,” tegasnya.
Hikam berharap pemerintah membuka ruang partisipasi publik lebih luas dan menjadikan RUU KKS sebagai agenda prioritas dalam Prolegnas 2026. “Melihat eskalasi ancaman, potensi kerugian, dan kekosongan regulasi saat ini, RUU KKS termasuk regulasi yang paling penting dan mendesak untuk segera ditetapkan,” tutupnya. (KNQ)




